Peran BK mengatasi masalah Keluarga

Peran BK mengatasi masalah Keluarga
Keluarga merupakan bagian yang terpenting dalam suatu hubungan kekeluargaan oleh setiap insan individu, tanpa adanya ikatan keluarga hubungan itu akan terasa tidak sempurna. Dijabarkan oleh beberapa ahli sebuah anggota keluarga yang penuh cinta kasih saling menghargai dan mensyukuri akan mengurangi perpecahan dan ketegangan antara anggota keluarga yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan.
Dewasa ini telah banyak permasalahan yang terjadi di dalam keluarga itu sendiri, padahal keluarga berperan sebagai pembentuk kepribadian anak yang utama dan pertama dalam perkembangan anak di masa mendatang. Dalam kehidupan masyarakat di manapun juga, keluarga merupakan unit terkecil yang peranannya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Apabila fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik maka timbul ketidakserasian dalam hubungan antara anggota keluarga, dapat dikatakan keluarga itu mempunyai masalah. Apabila salah seorang anggota keluarga tidak memilki pekerjaan (pengangguran) karena sempitnya lapangan pekerjaan, maka  kemungkinan ia akan bertindak criminal untuk memenuhi kebutuhan akan hidupnya. Hal ini ia lakukan karena tiada jalan lain yang bisa ia lakukan, sedangkan hidupnya harus terus berjalan dan ia butuh makan untuk dapat bertahan hidup. Adanya individu (keluarga) yang mempunyai masalah seperti ini, maka dari itu diperlukan adanya Bimbingan dan Konseling untuk mengusahakan pencegahannya atau memberikan bantuan dalam pemecahan masalahnya serta mengarahkan individu supaya dapat bersikap yang lebih positif agar tak menyesal nantinya. Untuk itu, penulis tertarik untuk menulis makalah tentang “Peran Bimbingan dan Konseling dalam Mengatasi masalah Kelurga ”.
Permasalahan Keluarga dan Penyebabnya 
 
Kita semua menyadari bahwa bahtera keluarga perkawinan tidak selamanya dapat mangarungi samudera kehidupan dengan tenang dan lancar. Setelah keluarga terbentuk barbagai masalah bisa timbul dalam pada gilirannya dapat menjadi benih yang mengancam kehidupa perkawinan dan berakibat keretakan atau perceraian. Yaumil (1991) menyatakan pada garis besarnya persoalan dalam keluarga dapat timbul karena dua hal:
1.      Karena keluarga kehilangan sebahagian besar fungsinya dalam memenuhi kebutuha keluarga. Misalnya kebutuhan suami yang tidak dipenuhi oleh istrinya atau sebaliknya, atau juga kebutuhan anak yang tidak diperhatikanorang tua dan sebaliknya.
2.      Karena dalam keluarga terjadi banyak sekali perbedaan antara anggota-anggotanya. Perbedaan itu biasanya menyangkut hal-hal yang prinsipil dan dianggap menentukan.
Penyebab masalah dalam keluarga dikemukakan oleh W. Edits Hunkis (1991) yaitunya:
a.       Gangguan dalam struktur dan organisasi keluarga yang baisanya merupakan dalam peranan dan fungsi sub-sistem.
b.      Kesukaran dalam menghadapi perkembangan keluarga.
c.       Kesukaran keluarga dalam menyesuaiakan diri terhadap penyebab stres (stressor) dari luar.
Masalah keluarga yang dapat menimbulkan goncangan dalam keluarga menurut Sarlito (1991) adalah:
1.      Kejadian-kejadian yang krisis: seperti perceraian, kematian salah seorang angota keluarga, berubahnya lingkungan tempat tinggal (mula-mula lingkungan perumahan berubah menjadi lingkungan pertokoan, atau dari kota kecil pindah ke kota besar).
2.      Pola interaksi dengan keluarga: adanya ayah yang terlalu otoriter, anak yang tertutup, ibu yang terlalu percaya kepada pembantu, ibu mertua lebih berkuasa dari suami atau istri dan sebagainya. Dalam hal ini nampak adanya peran anggota-anggota keluarga tertentu yang tidak dapat atau tidak mampu dijalankan sebagaimana mestinya.
3.      Suasana emosional dalam keluarga, misalnya adanya ibu yang membenci salah satu anaknya, anak yang merasa dianaktirikan, anak yang tidak mau bicara dengan ayahnya, sering terjadi pertengkaran suami istri atau antara anggota-anggota keluarga yang lain. Semua hal ini biasanya bisa merupakan akibat dari adanya gangguan pola hubungan dalam keluarga seperti tersebut di atas.
4.      Adanya masalah-masalah tertentu yang terus-menerus berlangsung dalam keluarga. Misalnya ada anak yang berkali-kali tidak naik kelas, masalah perbedaan agam atau suku antara suami istri, masalah-masalah warisan, adanya sanak saudara dari salah satu pihak (suami-istri) yang terus-menerus meminta bantuan ekonomi, sehingga dirasakan tidak wajar oleh pihak lain.
Menurut Parsudi (1991) hubungan yang harmonis dalam keluarga terwujud dalam keadaan di mana konsesus (kesepakatan) terwujud sebagai hasil dari penyesuaian dan kompromi para anggota keluarga dalam hal: kepentingan pribadi, kebahagiaan bersama, kepuasan hubungan seksual, cinta kasih, dan adanya saling hubungan ketergantungan di antara para anggota keluarga dalam hal emosi dan perasaan yang menciptakan adanya kemampuan untuk dapat merasakan penderitaan yang diderita oleh orang lain. Selanjutnya disharmins (hubungan tidak harmonis) muncul apabila:
1.      Motivasi dari para anggota keluarga adalah untuk mencapai kemenangan bagi diri mereka masing-masing, dengan biaya atau resiko sekecil-kecilnya dan biaya atau resiko anggota keluarga yang lainnya. Tingkat integrasi dan keakraban dalam kehidupan keluarga amat rendah.
2.      Adanya ketidakpastian antara permainan yang dijadikan patokan, atau tidak pastinya aspek-aspek kehidupan dala keluarga yang dianggap penting dan diprioritaskan, sehingga nampaknya serba serabutan tanpa rencana atau strategi. Masing-masing berjalan untuk urusan mereka sendiri.
3.      Adanya situasi-situasi krisis yang melanda kehidupan keluarga yang merupakan bagian dari tahapan-tahapan lingkaran kehidupan keluarga. Hal itu tidak dapat mereka atasi dengan menggunakan pola-pola strategi yang biasa mereka gunakan sebagai patokan untuk pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi.
William J. Goede (dalam Parsudi, 1991) mengatakan bahwa sumber-sumber dari keretakan keluarga adalah: tidak adanya sumber-sumber yang dapat secara lestari merupakan daya tarik suami istri; kepuasan seksual, saling menghargai, pendapatan ekonomi yang mencukupi, rasa aman dan tentram dalam keluarga, perasaan dalam keluarga terhormat menurut ukuran nilai-nilai sosial yang berlaku dan sebagainya.
Yaumil (1991) lebih jauh mengemukakan bahwa penyebab keretakan rumah tangga adalah keluarga yang gagal memenuhi kebutuhan anggotanya. Banyak perceraian dewasa ini terjadi karena salah satu pihak tidak lagi dapat memenuhi harapan atau kebutuhan pasangannya, hingga salah satu pihak atau kedua-duanya tidak ingin melanjutkan perkawinan. Banyak pasangan yang tidak mendapatkan penyaluran atau pemenuhan kebutuhan di rumah, lalu mencari alternatif lain di luar rumah. Di kalangan keluarga tidak mampu, sering kali terjadi perceraian karena suami kurang berhasil memenuhi kebutuhan materi dan kebutuhan poko lainnya dari keluarga.
Namun dikalangan masyarakat kota besar, pada keluarga mampu dan terdidik, persoalan lebih sering muncul karena ketidak kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan emosional pasangannya. Seringkali suami tidak lagi peka terhadap kebutuhan atau perasaan istrinya, dan tidak jarang pula istri tidak mengenali kebutuhan suaminya. Banyak pula anggota keluarga terbenam dalam persoalan mereka sendiri, hingga anak-anak mereka terganggu perkembangan dan pertumbuhannya. Mereka kurang waktu untuk berada bersama, bercengkrama, berkomunikasi untuk tukar pikiran atau sekadar menyalurkan pendapat atau perasaan. Bila persatuan dan persamaan tidak tercapai dalam keluarga, maka anggota-anggotanya merasakan perasaan tidak tertampung dan tidak lagi saling menyayangi, karena perasaan cinta kasih sayang tidak dipupuk dan dipelihara. Menurut landis (dalam Yaumil, 1991) ”To day couples expect much more from marriage than was expected in earlier day. These expectations are largely in the area o emotional satisfaction”. (Pada saat ini pasangan mengharapkan lebih banyak dari perkawinan dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Harapan-harapan ini lebih banyak pada aspek kepuasan emosional/bathin).
Masalah keluarga terjadi karena komunikasi yang kurang efektif. M. Surya (1995) mengatakan komunikasi merupakan salah satu aspek dari kehidupan manusia dan perilaku manusia secara keseluruhan. Manusia tidak akan menemukan kehidupan yang baik tanpa berkomunikasi sesamanya. Segalanya dapat berjalan dengan lancar sepanjang komunikasi itu berlangsung sevara efektif. Tetapi seringkali timbul berbagai permasalahan dalam keluarga karena komunikasi yang tidak efektif. Sering terjadi kesalahpahaman anatar suami istri untuk hal-hal tertentu. Misalnya suami merasa istri kurang memperhatikan, padahal istri merasa telah memberikan segalanya. Yang terjadi adalah apa yang dipikirkan suami ternyata ditafsirkan secara berbeda oleh istri, demikian pula sebaliknya. Anak-anak dan orang tua sering terjadi kekurang efektifan komunikasi misalnya apa saja yang direncanakan oleh anak kurang diterima oleh orang tua karena anggota keluarga kurang sesuai atau karena alasan lainnya.
Komunikasi yang kurang efektif antara anggota keluarga dapat menimbulkan berbagai masalah dan bahkan kadang-kadang dapat menimbulkan gangguan dan kegoncangan dalam keluarga. Masing-masing anggota keluarga berada dalam alam pikirannya masing-masing dan berjalan sendiri-sendiri. Lebih celaka lagi kalau terjadi benturan antara masing-masing pikiran itu. Mungkin semua anggota keluarga berasa di rumah tetapi sangat terbatas keluar kata-kata dari yang satu dengan yang lainnya. Bila hal ini terjadi, suasana keluarga sudah kurang sehat dan dapat membawa kepada situasi goncangan atau kehancuran.
Penelitian dari Jackson & Yalom (1966) dan Mods & Moos (1975) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara keluarga yang terisolasi dengan penyesuaian diri anak-anak. Kenyataan, dalam banyak keluarga sering terjadi situasi stresyang tinggi mengakibatkan anggota keluarga mengalami gangguan mental (mental breakdown), anak tersisa dan terabaikan, malanggar hukum atau terjadi perceraian yang disebabkan oleh interaksi (komunikasi interpersonal yang saling bertentangan).
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PRINSIP-PRINSIP KONSELING KELUARGA

Contoh RPL Konseling Indvidual

Teknik dalam Konseling